PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN BENTUK ASSESMEN TERHADAP HASIL BELAJAR IPA
(Penelitian Eksperimen)
Abstrak. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
pengaruh penerapan model pembelajaran dan bentuk asesmen terhadap hasil belajar
IPA di Sekolah Dasar. Penelitian dilakukan pada semester genap tahun pelajaran
2008/2009 pada di Kabupaten Lebak. Dengan mengambil sampel 4 kelompok/kelas
yang ditentukan dengan teknik purposive random sampling. Penelitian di fokuskan
kepada tingkat keberhasilan belajar siswa dalam mata pelajaran IPA yang di
jaring melalui alat tes berupa tes essay
dan tes objektif. Analisis data menggunakan analisys of variance (ANOVA) two
way dilanjutkan dengan t-test. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Hasil
belajar IPA siswa yang
mengikuti proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional, Hasil belajar IPA siswa yang diberi penilaian tes uraian lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar IPA siswa yang diberikan penilaian tes objektif, dan tidak terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan bentuk penilaian terhadap hasil belajar IPA.
mengikuti proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional, Hasil belajar IPA siswa yang diberi penilaian tes uraian lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar IPA siswa yang diberikan penilaian tes objektif, dan tidak terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan bentuk penilaian terhadap hasil belajar IPA.
Kata Kunci : Hasil belajar IPA, Sekolah Dasar
(SD), model pembelajaran kooperatif, tes
objektif dan tes uraian
A. Pendahuluan
Dunia pendidikan senantiasa melakukan inovasi
secara terus menerus, perubahan-perubahan yang cepat di luar pendidikan menjadi
tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan. Jika praktek-praktek
peyelenggaraan pengajaran dan pendidikan tidak melakukan perbaikan maka
kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia akan ketinggalan oleh
negara-negara lain.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
tahun 2003 menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia
yang bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pemerintah telah berupaya untuk terus meningkatkan
mutu pendidikan nasional, karena pemerintah sadar bahwa dengan membenahi sistem
pendidikan nasional berarti meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan
masyarakat. Usaha dapat dilakukan dengan
pembangunan infrastruktur, penyediaan dana dan peningkatan kualifikasi tenaga
kependidikan, penyempurnaan kurikulum
dan usaha lainnya. Penyempurnaan kurikulum telah dilakukan berkali-kali
meliputi setiap tingkat institusional dan seluruh mata pelajaran. Terakhir
adalah dengan diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Pada abad 21 ini, praktek-praktek pembelajaran dan
pendidikan di sekolah-sekolah perlu diperbaharui. Peranan dunia pendidikan
dalam mempersiapkan anak didik agar optimal dalam kehidupan bermasyarakat, maka
proses dan model pembelajaran perlu terus diperbaharui.
Upaya pembaharuan proses tersebut terletak pada tanggung jawab guru, bagaimana pembelajaran yang disampaikan dapat dipahami oleh anak didik secara benar. Dengan demikian proses pembelajaran ditentukan sampai sejauh guru dapat menggunakan model pembelajaran dengan baik.
Upaya pembaharuan proses tersebut terletak pada tanggung jawab guru, bagaimana pembelajaran yang disampaikan dapat dipahami oleh anak didik secara benar. Dengan demikian proses pembelajaran ditentukan sampai sejauh guru dapat menggunakan model pembelajaran dengan baik.
Upaya peningkatan hasil belajar IPA di sekolah
dasar merupakan tahap awal pengenalan siswa tentang keberadaan dirinya di
tengah lingkungan alam dan sosial masyarakat di sekitarnya. Berbagai inovasi
pembelajaran IPA di sekolah dasar sebagaimana dilaporkan beberapa hasil
penelitian memperlihatkan adanya upaya penerapan berbagai pendekatan dalam
pembelajaran IPA yang pada intinya adalah untuk mengaktifkan siswa baik secara
fisik maupun mental, mengaitkan materi pelajaran dengan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari, melatihkan keterampilan proses dan juga memadukan sains,
teknologi dan masyarakat. Untuk
mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran IPA kepada siswa perlu dilakukan
evaluasi yang mencakup semua aspek bahwa penilaian hasil belajar mencakup
pemahaman konsep dan penguasaan keterampilan proses.
Proses pembelajaran IPA di sekolah dasar menuntut
keterlibatan peserta didik secara aktif dan bertujuan agar penguasaan dari
aspek kognitif, afektif serta psikomotor terbentuk pada diri siswa. Dengan
demikian untuk penilaian diperlukan alat penilaian yang beragam yang dapat
mengungkap keterampilan siswa selama proses pembelajaran selain hasil belajar
siswa.
Agar siswa bisa belajar lebih aktif, guru harus
memunculkan strategi yang tepat dalam memberikan keleluasaan kepada siswa untuk
belajar secara aktif. Guru harus memfasilitasi siswa agar siswa mendapat
informasi yang yang bermakna, supaya memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan dan menerapkan ide
mereka sendiri.
Salah satu
model pembelajaran yang dapat mengakomodasi kepentingan untuk mengkolaborasikan
pengembangan diri di dalam proses pembelajaran adalah model pembelajaran
kooperatif (cooperative learning).
Ide penting dalam pembelajaran kooperatif adalah membelajarkan kepada siswa
keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini sangat penting bagi
siswa, karena pada dunia kerja sebagian besar dilakukan secara kelompok.
Pemilihan
model pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran IPA akan mengaktifkan siswa
serta menyadarkan siswa bahwa IPA itu menyenangkan. Guru hanya sebagai fasilitator
untuk membentuk dan mengembangkan pengetahuan itu sendiri, bukan untuk
memindahkan pengetahuan. Melalui pembelajaran kooperatif siswa diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan berpikir dan motivasi dalam belajar IPA.
Untuk mengumpulkan informasi atau data tentang
kemajuan belajar peserta didik dapat dilakukan beragam teknik, baik berhubungan
dengan proses belajar maupun hasil belajar. Teknik mengumpulkan informasi atau
data tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian kemajuan belajar peserta
didik terhadap pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Teknik
assesmen yang digunakan harus disesuaikan dengan karakteristik indikator,
standar kompetensi dan kompetensi dasar. Tidak menutup kemungkinan bahwa satu
indikator dapat diukur dengan beberapa teknik penilaian. Fenomena di atas menunjukkan bahwa bentuk
atau sistem penilaian yang digunakan dalam mengukur hasil belajar siswa sangat
penting bentuknya dalam
mengukur keberhasilan siswa dalam belajar. Sehingga teknik assesmen yang benar
adalah yang selaras dengan tujuan dan proses pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan penerapan
pembelajaran kooperatif dan teknik assesmen dalam meningkatkan hasil belajar
siswa.
B. Perumusan
Masalah
Berdasarkan paparan di atas maka permasalahan penelitiannya adalah
sebagai berikut : 1). Apakah
hasil belajar IPA siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif lebih tinggi
dibandingkan dengan siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan model
pembelajaran konvensional? 2). Apakah hasil belajar IPA antara siswa yang
diberi penilaian tes objektif lebih tinggi dibandingkan siswa yang diberikan
penilaian tes uraian? 3). Apakah terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran
dan teknik assesmen terhadap hasil
belajar IPA? 4). Apakah terdapat perbedaan hasil belajar IPA pada
kelompok-kelompok siswa yang diberikan mdel pembelajaran dan bentuk asessmen?
C. Kajian Teori
1.
Hasil Belajar IPA
Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang membentuknya,
yaitu hasil dan belajar. Pengertian hasil (product)
menunjuk kepada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses
yang mengakibatnya berubahnya input secara fungsional. Hasil produksi adalah
perolehan yang didapatkan karena adanya kegiatan mengubah bahan (raw materials) menjadi barang jadi (finished goods). Hal yang sama berlaku
untuk memberikan batasan bagi istilah hasil panen, hasil penjualan, hasil
pembangunan, termasuk hasil belajar.
Dalam siklus input-proses-hasil, hasil dapat dengan jelas dibedakan dengan
input akibat perubahan oleh proses. Begitu pula dalam kegiatan belajar
mengajar, setelah mengalami belajar siswa berubah perilakunya dibanding
sebelumnya. Belajar juga diartikan sebagai suatu proses perubahan didalam
kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam perilaku dalam
bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkahlaku seperti peningkatan
kecakapan, pengetahuan, sikap kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan
lain-lain kemampuannya.[1]
Belajar merupakan proses yang unik dan kompleks. Keunikan itu disebabkan
karena hasil belajar hanya terjadi pada individu yang belajar, tidak pada orang
lain dan setiap individu menampilkan perilaku belajar yang berbeda. Perbedaan
penampilan itu disebabkan karena setiap individu mempunyai karakteristik
individualnya yang khas, seperti minat, intelegensi, perhatian, bakat dan
sebagainya.
Belajar dilakukan untuk mengusahakan adanya perubahan perilaku pada
individu yang belajar. Perubahan perilaku itu merupakan perolehan yang menjadi
hasil belajar. Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia
berubah dalam sikap dan tingkah lakunya.[2].
Aspek perubahan tersebut mengacu kepada taksonomi tujuan pengajaran yang
dikembangkan oleh Benjamin S. Bloom yang mencakup aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik.
Sedangkan proses pengajaran merupakan sebuah aktivitas sadar untuk membuat
siswa belajar. Proses sadar mengandung implikasi bahwa pengajaran merupakan
sebuah proses yang direncanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran (goal teaching). Dalam konteks demikian
maka hasil belajar merupakan perolehan dari proses belajar siswa sesuai dengan
tujuan pengajaran (ends are being
attained).
Tujuan pengajaran dan keluaran hasil belajar adalah dua hal yang erat
kaitannya. Tujuan pengajaran menyarankan pada bentuk-bentuk atau kategori
tertentu hasil belajar. Keluaran hasil belajar adalah berupa kemampuan,
keterampilan dan tingkah laku tertentu yang pada hakikatnya merupakan
perwujudan terhadap pencapaian tujuan pembelajaran.[3]
Tujuan pengajaran adalah kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh siswa
setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya. Hasil belajar yang diukur
merefleksikan tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran adalah tujuan yang
menggambarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki oleh
siswa sebagai akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah
laku (behavior) yang dapat diamati
dan diukur. Oleh karenanya, menurut Arikunto dalam merumuskan tujuan
instruksional harus diusahakan agar nampak bahwa setelah tercapainya tujuan itu
terjadi adanya perubahan pada diri anak yang meliputi kemampuan intelektual,
sikap dan minat maupun keterampilan.[4]
Perubahan
perilaku akibat kegiatan belajar mengakibatkan siswa memiliki penguasaan
terhadap materi pengajaran yang disampaikan dalam kegiatan belajar mengajar.
Hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat penguasaan yang dicapai oleh
pelajar dalam mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan
yang ditetapkan.
Hasil belajar tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri
siswa yang dapat diamati dan dapat diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan
sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya
peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan sebelumnya[5]
Berdasarkan berbagai definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hasil
belajar adalah tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran sebagai
akibat dari perubahan perilaku setelah mengikuti proses belajar mengajar
berdasarkan tujuan pengajaran yang ingin dicapai. Hasil belajar itu akan diukur
dengan sebuah tes. Perubahan kemampuan tersebut
antara lain bidang kognitif yang mengacu dimensi pengetahuan
(faktual, konseptual dan prosedural) dan dimensi proses kognitif (mengingat,
memahami, menerapkan, menganalisis, menilai dan mencipta). Yang dicapai siswa
sebagai proses dari pembelajaran IPA yang ditempuh selama kurun waktu tertentu
berdasarkan tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
2. Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran merupakan jalan yang akan
ditempuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dengan model pembelajaran guru menjadi lebih
mudah dalam menyampaikan materi pelajaran juga mempermudah bagi siswa dalam
memahami materi pelajaran. Menurut Dahlan model mengajar merupakan suatu
rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi
pelajaran dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting
pengajaran.[6]
Model pembelajaran yang akan dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah model
pembelajaran kooperatif dan model pembelajaran konvensional.
Model pembelajaran kooperatif beranjak dari dasar
pemikiran "getting better together",
yang menekankan pada pemberian kesempatan belajar yang lebih luas dan suasana
yang kondusif kepada siswa untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan,
sikap, nilai serta keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat bagi
kehidupannya di masyarakat. Melalui model pembelajaran ini siswa bukan hanya
belajar dan menerima apa yang disajikan oleh guru dalam proses pembelajaran,
melainkan bisa juga belajar dari siswa lainnya dan sekaligus mempunyai
kesempatan untuk membelajarkan siswa yang lain.
Kooperatif adalah mengerjakan sesuatu
secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu tim.
Adapun pembelajaran kooperatif adalah
belajar bersama-sama, saling membantu antara satu dengan yang lain dalam
belajar dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan atau
tugas yang telah ditentukan sebelumnya.
Menurut Slavin bahwa belajar
kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja
dalam kelompok kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya empat sampai
enam orang dengan struktur kelompok heterogen.[7] Pendapat senada juga dikemukakan oleh Nur
bahwa pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang sistematis yang
mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang
efektif yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademis.[8] Pembelajaran kooperatif
adalah kegiatan belajar mengajar secara kelompok-kelompok kecil, siswa belajar
dan bekerja sama untuk sampai kepada pengalaman belajar yang optimal, baik
pengalaman individu maupun pengalaman kelompok.
Pada hakekatnya pembelajaran kooperatif sama
dengan kerja kelompok, oleh karena itu banyak guru yang mengatakan bahwa tidak
ada sesuatu yang aneh dalam pembelajaran kooperatif karena mereka menganggap
telah terbiasa menggunakannya. Walaupun pembelajaran kooperatif terjadi dalam
bentuk kelompok, tetapi tidak setiap kerja kelompok dikatakan pembelajaran
kooperatif.
Menurut Mohammad Nur pembelajaran kooperatif
adalah sebagai berikut: a). Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif
untuk menuntaskan materi belajarnya. b). Kelompok dibentuk dari siswa yang
memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. c). Bilamana mungkin, anggota
kelompok berasal dari ras, bangsa, suku, dan jenis kelamin yang berbeda-beda.
d). Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok daripada individu [9]
Dari beberapa
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif
merupakan strategi yang menempatkan siswa belajar dalam kelompok yang beranggotakan 4-5 siswa dengan tingkat kemampuan
atau jenis kelamin atau latar belakang yang berbeda. Pembelajaran harus
menekankan kerjasama dalam kelompok untuk mencapai tujuan yang sama. Oleh sebab
itu penanaman keterampilan kooperatif sangat perlu dilakukan, antara lain menghargai
pendapat orang lain, mendorong berpartisipasi, berani bertanya, mendorong teman
untuk bertanya, mengambil giliran dan berbagi tugas.
3. Teknik Assesmen
Penilaian kelas merupakan suatu proses yang dilakukan melalui
langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi
melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik,
pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik.[10]
Oleh karena itu penilaian hasil belajar merupakan suatu
bentuk kegiatan guru yang terkait dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian
kompetensi atau hasil belajar peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran
tertentu. Untuk itu, diperlukan data sebagai informasi yang diandalkan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Dalam hal ini, keputusan berhubungan dengan sudah atau belum berhasilnya
peserta didik dalam mencapai suatu kompetensi. Sehingga penilaian kelas
merupakan salah satu pilar dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) yang berbasis kompetensi.
Data yang diperoleh guru
selama pembelajaran berlangsung dapat dijaring dan dikumpulkan melalui prosedur
dan alat penilaian yang sesuai dengan kompetensi atau hasil belajar yang akan
dinilai. Oleh sebab itu, penilaian kelas lebih merupakan proses
pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk memberikan keputusan,
dalam hal ini nilai terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan tahapan
belajarnya. Dari proses ini, diperoleh potret atau profil kemampuan peserta
didik dalam mencapai sejumlah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang
tercantum dalam kurikulum.
Beragam teknik dapat
dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan belajar peserta didik,
baik yang berhubungan dengan proses belajar maupun hasil belajar. Teknik
pengumpulan informasi tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian kemajuan belajar
peserta didik berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus
dicapai.
Penggunaan teknik assesmen yang
tepat akan sangat menentukan keberhasilan dalam mengakses informasi yang
berkenaan dengan proses pembelajaran. Pemilihan metode penilaian
harus didasarkan pada target informasi yang ingin dicapai. Informasi yang dimaksud adalah
hasil belajar yang dicapai siswa.
Teknik assesmen yang akan
dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah bentuk tes uraian dan bentuk tes
objektif. Tes bentuk uraian adalah alat penilaian yang menuntut
peserta didik untuk mengingat, memahami, dan mengorganisasikan gagasannya atau
hal-hal yang sudah dipelajari. Peserta didik mengemukakan atau mengekspresikan
gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis dengan menggunakan kata-katanya
sendiri.[11]
Alat ini dapat menilai berbagai jenis kompetensi, misalnya mengemukakan
pendapat, berpikir logis, dan menyimpulkan.
Tes
dirancang untuk mengukur hasil belajar di mana unsur-unsur yang diperlukan
untuk menjawab soal dicari, diciptakan dan disusun sendiri oleh pengambil tes. Peserta
tes harus menyusun sendiri kata-kata dan kalimat-kalimat dalam merumuskan
jawabannya. Butir soal tipe esai mengandung pertanyaan atau tugas yang
menghendaki siswa merumuskan sendiri jawabannya.[12]
Bentuk
pertanyaan atau suruhan meminta pada peserta didik untuk menjelaskan,
membandingkan, menginterpretasikan dan mencari perbedaan. Semua bentuk
pertanyaan tersebut mengharapkan agar murid-murid menunjukkan pengertian mereka
terhadap materi yang dipelajari. Tes esai digunakan untuk mengatasi kelemahan
daya ukur soal objektif yang terbatas pada hasil belajar rendah. Soal tes
bentuk ini cocok untuk mengukur hasil belajar yang level kognisinya lebih dari
sekedar memanggil informasi, karena hasil belajar yang diukur bersifat kompleks
dan sangat mementingkan kemampuan menghasilkan, memadukan dan menyatakan
gagasan. Soal uraian (essay) berbeda
dengan soal objektif dalam kebenarannya yang bertingkat. Jawaban tidak dinilai mulai dari
100% benar dan 100% salah. Kebenaran bertingkat tergantung tingkat kesesuaian
jawaban siswa dengan jawaban yang dikehendaki yang dituangkan dalam kunci
jawaban. Jawaban mungkin mengarah kepada jawaban yang tidak tunggal (divergence). Kebenaran yang dicapai bisa
0%, 20%, 30%, 50%, 70%, atau 100% tergantung ketepatan jawabannya.
Sedangkan tes objektif adalah tes
yang keseluruhan informasi yang diperlukan untuk menjawab tes telah tersedia.
Oleh karena sifatnya yang demikian Popham menyebutnya dengan istilah tes
pilihan jawaban (selected response test).[13]
Butir soal telah mengandung kemungkinan jawaban yang harus dipilih atau
dikerjakan oleh peserta tes. Kemungkinan jawaban telah dipasok oleh
pengkonstruksi tes dan peserta hanya memilih jawaban dari kemungkinan jawaban
yang telah disediakan. Menurut Azwar soal tipe objektif mempunyai hanya satu
jawaban yang dianggap terbaik. Siswa yang diuji diminta untuk menunjukkan
jawaban yang terbaik dengan cara
memberikan jawaban (recall) atau
dengan cara memilih jawaban (recognize).[14]
Sebagaimana nama yang
digunakannya soal objektif adalah soal yang tingkat kebenarannya objektif. Oleh
karenanya, tes objektif adalah tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan
secara objektif. Karena sifatnya yang
objektif maka penskorannya dapat dilakukan dengan bantuan mesin. Soal ini tidak
memberi peluang untuk memberikan penilaian yang bergradasi karena hanya
mengenal benar dan salah. Apabila jawaban siswa sesuai dengan jawaban yang
dikehendaki maka jawaban tersebut benar dan diberi skor 1. Apabila kondisi yang
terjadi sebaliknya, maka jawaban siswa salah dan
diberi skor 0. Jawaban siswa bersifat mengarah kepada satu jawaban yang benar (convergence).
Soal tes objektif
sangat bermanfaat untuk mengukur hasil belajar yang menuntut proses mental yang
tidak begitu tinggi, seperti mengingat kembali, mengenal kembali, kemampuan
pengertian. Hasil-hasil belajar kompleks seperti menciptakan dan
mengorganisasikan gagasan kurang cocok diukur menggunakan soal bentuk ini. Soal
objektif sangat bervariasi bentuknya. Variasi yang bisa dibuat dari soal
objektif adalah benar-salah, pilihan ganda, menjodohkan, melengkapi dan jawaban
singkat.
D. Metodologi Penelitian
Penelitian
dilakukan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Margajaya I dan II. Kedua sekolah
tersebut berlokasi di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada
semester 2 tahun pelajaran 2008/2009. Penelitian
ini menggunakan metode eksperimen dengan dua perlakukan. Model pembelajaran dan bentuk penilaian
ditempatkan sebagai variabel bebas dan hasil belajar sebagai variabel terikat.
Variabel model pembelajaran dibedakan menjadi dua yaitu model pembelajaran
kooperatif dan konvensional. Variabel bentuk penilaian meliputi penilaian tes
objektif dan penilaian tes uraian.
Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan tes IPA yang telah dikembangkan.
Pengukuran hasil belajar IPA dilakukan setelah proses perlakuan selesai
dilaksanakan. Proses pengukuran tersebut dilakukan pada seluruh siswa dalam
kelas yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian menggunakan instrumen
berupa tes hasil belajar.
Teknik analisis data yang digunakan dalam menguji hipotesis adalah teknik
analisis varian (ANAVA) dua jalur. Untuk memenuhi persyaratan analisis
sebelumnya data dilakukan uji normalitas dan homogenitas. Dalam uji hipotesis
tersebut bila terdapat perbedaan yang signifikan maka dilanjutkan dengan uji t.
E. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil
penelitian diperoleh dari Pengujian hipotesis dengan menggunakan Analisis Varian
(ANAVA) dua jalan. Kemudian dilanjutkan
dengan analisis varian satu jalan untuk mengetahui signifikansi diantara
masing-masing kelompok dan dilanjutkan dengan uji t untuk mengetahui perbedaan
diantara kelompok. Berikut ini ringkasan hasil analisis data dengan menggunakan
analisis varian dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1
|
Analisis Varian tentang Hasil Belajar IPA
|
|||||||
Sumber Varian
|
JK
|
db
|
RJK
|
Fo
|
F tabel
|
|||
0.05
|
0.01
|
|||||||
Antar (A)
|
932,47
|
1
|
932,47
|
10,989**
|
3,96
|
6,96
|
||
Antar (B)
|
641,41
|
1
|
641,41
|
7,558**
|
3,96
|
6,96
|
||
Interaksi (AxB)
|
160,42
|
1
|
160,42
|
1,891
|
3,96
|
6,96
|
||
Dalam
|
6448,75
|
76
|
84,85
|
|||||
Total
|
8182,95
|
79
|
||||||
Hipotesis Pertama : Hasil belajar IPA siswa yang mengikuti proses
pembelajaran dengan model pembelajaran
kooperatif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti proses
pembelajaran dengan model konvensional. Perbedaan skor di atas ditunjang dengan pengujian analisis varian
untuk kedua model pembelajaran. Dari analisis varian yang ringkasannya dapat
dilihat dalam tabel 4.12. diperoleh Fhitung antar A sebesar 10,989
sementara harga Ftabel pada taraf signifikansi χ= 0.05 adalah 3.96 dan χ = 0.01 adalah 6.96. Bila dibandingkan
terlihat bahwa Fhitung antar A lebih besar dari Ftabel pada kedua taraf signifikansi. Berdasarkan
hasil ini maka hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif
(H1) diterima. Hal ini membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang belajar dengan model
pembelajaran kooperatif dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran
konvensional. Perbedaan rerata hasil
belajar IPA diantara kedua model pembelajaran tersebut menunjukkan bahwa siswa
yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif memiliki rerata sebesar 81,68
lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran
konvensional sebesar 74,84.
Hipotesis Kedua : Hasil
belajar IPA siswa yang diberikan penilaian tes uraian lebih tinggi dibandingkan
dengan siswa yang diberikan penilaian tes objektif. Perbedaan skor di atas ditunjang dengan pengujian analisis varian
untuk kedua bentuk penilaian. Dari analisis varian yang ringkasannya dapat
dilihat dalam tabel 4.12. diperoleh Fhitung antar B sebesar 7,558, sementara harga Ftabel
pada taraf signifikansi χ =
0.05 adalah 3.96 dan χ = 0.01
adalah 6.96. Bila dibandingkan terlihat bahwa Fhitung antar B lebih
besar dari Ftabel pada kedua
taraf signifikansi. Berdasarkan hasil ini maka hipotesis nol (Ho)
ditolak dan hipotesis alternatif (H1) diterima. Hal ini membuktikan
bahwa terdapat perbedaan hasil belajar IPA yang signifikan antara siswa yang
diberikan penilaian tes uraian dengan siswa yang diberikan penilaian tes
objektif. Perbedaan rerata hasil belajar
IPA diantara kedua bentuk penialaian tersebut menunjukan bahwa siswa yang
diberikan penilaian tes uraian memiliki rerata sebesar 81.09 lebih tinggi
dibandingkan dengan siswa yang diberikan penilaian tes objektif sebesar 75,42.
Hipotesis Ketiga : Terdapat
interaksi antara model pembelajaran dan bentuk penilaian terhadap hasil belajar
IPA. Interaksi antara model pembelajaran dan bentuk penilaian kelas terlihat
bahwa Fhitung interaksi adalah 1,891, sementara Ftabel
pada taraf signifikansi χ =
0.05 adalah 3.96 dan χ = 0.01 adalah 6.96. hal ini menunjukan bahwa Fhitung
lebih rendah dari pada Ftabel pada kedua taraf signifikansi.
Berdasarkan hasil ini maka hipotesis nol (Ho) diterima dan hipotesis
alternatif (H1) ditolak. Hal ini menunjukan bahwa tidak terdapat
pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan bentuk penilaian terhadap
hasil belajar siswa. Berdasarkan analisis varian yang dilakukan terlihat bahwa
tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan bentuk penilaian terhadap
hasil belajar IPA. Berdasarkan hasil ini
maka tidak perlu dilakukan analisis lanjutan untuk melihat simple effect diantara sub-sub faktor yang membangun interaksi
tersebut karena hasil pengujian menunjukan tidak ada pengaruh interaksi yang
signifikan antara model pembelajaran dan bentuk penilaian kelas terhadap hasil
belajar IPA. Berikut ini adalah pembahasan dari hasil penelitian
1.
Hasil belajar IPA siswa yang belajar
dengan model pembelajaran kooperatif lebih
tinggi dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional.
Bedasarkan pada hasil penelitian pada kelompok
siswa dengan perlakuan model pembelajaran yang berbeda menunjukan adanya
perbedaan hasil belajar IPA antara
kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif (A1)
dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional (A2).
Perbedaan ini juga dapat dilihat dari perbedaan rerata skor hasil belajar IPA yang diperoleh setiap kelompok tersebut.
Rerata kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif (A1)
sebesar 81,67 lebih tinggi dibandingkan dengan rerata kelompok siswa yang
belajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional (A2)
sebesar 74,84.
Perbedaan tersebut selain ditunjukkan oleh rerata
skor juga diperkuat dengan hasil analisis varian yang memperlihatkan bahwa
harga Fo A = (10,989) > Ftabel 0,05/0,01 (3,96/6,69). Hasil ini memperkuat asumsi
bahwa pengunaan model pembelajaran kooperatif memberikan pengaruh yang
signifikan dalam meningkatkan hasil belajar IPA.
Hasil tersebut menyatakan bahwa penerapan model
pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran IPA di sekolah berpengaruh terhadap
hasil belajarnya. Dengan model pembelajaran kooperatif hasil belajar IPA siswa
lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang diberikan model
konvensional.
Kondisi empirik menunjukan bahwa proses
pembelajaran pada siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif.
Siswa belajar dalam bentuk kelompok kerjasama untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Setiap siswa saling memiliki peran yang berbeda dalam belajar,
kemudian mereka bekerja dan belajar secara bersama-sama saling melengkapi
sehingga tercapainya tujuan pembelajaran secara optimal.
Setiap siswa dituntut untuk selalu terlibat aktif
dalam setiap kegiatan pembelajaran sesuai dengan tugas yang diberikan oleh guru
dalam belajar. Belajar dalam kelompok kerjasama dan kekompakan siswa dalam
belajar merupakan inti dari keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran model
kooperatif.
Disamping itu dalam kegiatan pembelajaran tersebut
siswa melakukan perannya sebagai seorang yang sedang belajar untuk mendapatkan
pengetahuan dan pengalamannya terhadap materi yang disampaikan. Sehingga guru
berperan sebagai fasilitator bagi siswa dengan memberikan arahan dan bimbingan
selama proses pembelajaran berlangsung.
Dalam proses pembelajaran kooperatif aktivitas
siswa yang paling dominan adalah berada dalam tugas kelompok selanjutnya adalah
berdiskusi antara siswa dengan guru, memperhatikan dan mendengarkan penjelasan
teman. Berada pada kerja kelompok secara khusus dapat meningkatkan hubungan
interpersonal melalui sikap yang fleksibel dan kemampuan dalam merespon
perubahan. Salah satu tujuan utama dari proses interpersonal melalui
kerjasama adalah siswa dapat mengorganisasi kelompok melalui pengorganisasian
peran serta fungsi individu secara efektif dan manusiawi. Selain berfungsi
sebagai proses sosial, juga dapat menjembatani proses pengembangan konsep diri,
kepercayaan diri, keterampilan individu, dan dapat memberikan kontribusi yang
bermakna, sehingga tercapai kepuasan dan kenyamanan bagi anggotanya.
Selain
aktifitas siswa dalam pembelajaran kooperatif nampak terlihat bahwa suasana
kelas cukup tinggi. Kondisi di atas merupakan indikasi bahwa baik guru maupun
siswa benar-benar antusias dan aktif terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Guru
telah melakukan persiapan, persentasi kelas, memotivasi siswa, mengaitkan
pembelajaran dengan pengetahuan awal siswa dan menjelaskan materi yang
berhubungan dengan tugas yang akan diselesaikan dalam kerja kelompok dengan
baik.
Dalam
pembelajaran kooperatif aktifitas guru membimbing keterampilan kooperatif
secara bergiliran, mendorong teman untuk bertanya kepada teman sekelompok, baru
bertanya kepada guru, memberikan bantuan kepada kelompok yang mengalami
kesulitan untuk menemukan cara pemecahan masalah, dan memberi umpan balik.
Dalam menutup pelajaran guru melakukan bimbingan kepada siswa membuat
rangkuman, mengajukan pertanyaan untuk umpan balik
Beberapa
perbedaan yang mendasar antara pembelajaran kooperatif dan pembelajaran
konvensioanal adalah bahwa pada pembelajaran kooperatif mempunyai sifat: 1)
Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu, dan saling memberikan
motivasi sehingga ada interaksi promotif. 2) Adanya akuntabilitas individual
yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok, dan kelompok
diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling
mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan
bantuan 3). Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis
kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang
memerlukan bantuan dan siapa yang memberikan bantuan 4). Pimpinan kelompok
dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin
bagi para anggota kelompok 5). Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja
gotong-royong seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang
lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan 6). Pada saat belajar
kooperatif sedang berlangsung guru terus melakukan pemantauan melalui observasi
dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota
kelompok. 7). Guru memperhatikan secara proses kelompok yang terjadi dalam
kelompok-kelompok belajar. 8) Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas
tetapi juga hubungan interpersonal seperti hubungan antar pribadi yang saling
menghargai.
Kondisi proses pembelajaran ini sangat berbeda
sekali dengan kondisi proses pembelajaran dalam model pembelajaran
konvensional, dalam model konvensional. Pelajaran IPA disampaikan dengan metode
ceramah yang sesekali diselingi pertanyaan yang diajukan oleh siswa. Proses
pembelajaran berpusat kepada guru. Guru merupakan satu-satunya sumber informasi
dalam pembelajaran, setiap siswa hanya memberikan tanggapan dan pertanyaan
terhadap materi yang disampaikan guru.
Kondisi ini jelas sangat kontras sekali dengan
model pembelajaran kooperatif sebagai model perlakukan (treatment) dalam penelitian, dimana siswa belajar dengan begitu
antusias dan semangat mengikuti pelajaran. Sehingga wajar sekali perbedaan
perlakukan tersebut menyebabkan atau terjadinya hasil belajar IPA kedua
kelompok tersebut. Disamping itu hasil belajar dengan model kooperataif
tentunya juga akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil belajar siswa
yang belajar dengan model konvensional.
Pada pembelajaran biasa aktivitas siswa lebih
dominan adalah memperhatikan penjelasan guru dan mengerjakan tugas. Pada saat
guru menerangkan materi pelajaran, hanya sedikit siswa yang bertanya kepada
guru, siswa cenderung untuk menerima apa saja yang disampaikan guru. Selain itu
pula dalam mengerjakan tugas siswa lebih banyak bertanya langsung kepada guru
dibandingkan bertanya kepada teman sebangkunya ataupun kepada teman di dekat
bangkunya. Hal ini dikarenakan teman-temannya pun kelihatan sibuk mengerjakan
tugas secara sendiri-sendiri. Dengan kata lain kesempatan untuk diskusi antara
siswa yang diberikan oleh guru menjadi tidak efektif.
Kondisi pada
pembelajaran Konvensional adalah 1) Guru sering membiarkan adanya siswa yang
mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok. 2) Akuntabilitas
individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah
seorang anggota kelompok sedangkan anggota kelompok lainnya hanya mendompleng
keberhasilan. 3). Kelompok
belajar biasanya homogen. 4). Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru
atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing-masing.
5). Keterampilan sosial sering tidak secara langsung diajarkan. 6) Pemantauan
melalui observasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat
belajar kelompok sedang berlangsung. 7) Guru sering tidak memperhatikan proses
kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar. 8) Penekanan sering
hanya pada penyelesaian tugas
2. Perbedaan hasil belajar IPA siswa yang
diberikan penilaian tes uraian dengan penilaian tes objektif.
Berdasarkan
pada hasil penelitian pada kelompok siswa dengan perlakuan bentuk penilaian
yang berbeda menunjukan adanya perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok
siswa yang diberikan penilaian tes uraian (B1) dan kelompok siswa
yang diberikan penilaian tes objektif (B2).
Perbedaan ini juga dapat dilihat
dari perbedaan rerata skor hasil belajar IPA yang diperoleh setiap kelompok
tersebut. Rerata kelompok siswa yang diberikan penilaian tes uraian sebesar
81,09 lebih tinggi dibandingkan dengan rerata kelompok siswa yang diberikan
penilaian dengan tes objektif sebesar
75,2
Perbedaan tersebut selain ditunjukan oleh rerata
skor juga diperkuat dengan hasil analisis varian yang memperlihatkan bahwa
harga Fo B = (7,558) > Ftabel 0,05/0,01 (3,96/6,96). Hasil ini memperkuat asumsi
bahwa pengunaan bentuk penilaian tes uraian dalam proses pembelajaran
memberikan perbedaan yang signifikan dalam meningkatkan hasil belajar IPA.
Hasil tersebut menyatakan siswa yang diberikan
penilaian tes uraian dalam pembelajaran IPA di sekolah berpengaruh terhadap
hasil belajarnya. Dengan penerapan penilaian tes uraian dalam pembelajaran IPA
maka hasil belajar IPA siswa lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil
belajar siswa yang diberikan penilaian tes objektif.
Pada kelompok siswa yang diberikan perlakuan
dengan diberikan penilaian tes uraian dalam proses pembelajaran. Setiap siswa
diselalu diberikan latihan berupa tugas-tugas yang diberikan oleh guru, terkait
dengan materi yang disampaikan dalam bentuk pendalaman soal, kemudian siswa
selalu diberitahu bahwa pada akhir kegiatan akan dilakukan tes hasil belajar
dalam bentuk tes uraian. Dengan pola penilaian yang diberikan tersebut maka
kemampuan siswa dalam materi tersebut dapat terpantau perkembangannya. Sehingga
dengan mudah dapat diketahui kemampuan siswa terhadap materi yang disampaikan
lebih dini.
Pada penelitian ini juga kelompok siswa yang
diberikan penilaian dengan tes uraian baik pada model pembelajaran kooperatif
maupun konvensional lebih lebih tinggi hasil belajarnya. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa penilaian tes uraian telah memberikan pengaruh terhadap hasil
belajar siswa dalam mata pelajaran IPA. Dengan penilaian tes uraian hasil
belajar siswa cenderung lebih baik dibandingkan dengan tes objektif. Kondisi
empiris juga menunjukan bahwa siswa lebih menyukai menggunakan bentuk penilaian
ini.
Selain itu kondisi empiris terlihat bahwa pada
saat pelaksanaan ujian dilakukan siswa lebih rileks dan nyaman dalam
mengerjakan soal-soal yang diberikan, karena mereka sudah terbiasa dengan
kondisi yang dilakukan saat ini. Sementara itu pada penilaian tes tertulis bentuk
uraian penilaian dan proses hasil belajar dilakukan hanya pada penilaian akhir
saja. Penilaian yang dilakukan bentuknya seputar tes objektif. Hasil
penilaianya pun belum dilakukan seoptimal mungkin untuk perbaikan kegiatan
pembelajaran. Siswa hanya belajar dalam
setiap proses pembelajaran dalam upaya menyelesaikan materi yang disampaikan.
3.
Interaksi model pembelajaran dan bentuk
penilaian terhadap hasil belajar IPA.
Bedasarkan pada hasil penelitian terlihat
perbedaan hasil belajar IPA merupakan pengaruh dari model pembelajaran dan
bentuk penilaian kelas. Dalam penelitian ini secara signifikan dapat
diperlihatkan interaksi diantara kedua variabel tersebut. Berdasarkan hasil
analisis varian bahwa Fo AB = (1,891) < Ftabel 0,05/0,01 (3,96/6,96) hasil ini menunjukan bahwa
tidak terdapat interaksi model pembelajaran dan bentuk penilaian terhadap hasil
belajar IPA.
Kondisi empirik juga menyatakan bahwa kelompok
siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif memiliki rerata skor
hasil belajar IPA lebih tinggi baik diberikan penilaian tes uraian maupun tes
objektif. Sementara untuk kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran
kovensional memiliki rerata lebih rendah baik diberikan penilaian tes uraian
maupun tes objektif.
Deskripsi penelitian ini menunjukan bahwa siswa
yang diberikan penilaian tes uraian dan belajar dengan model pembelajaran
kooperatif memiliki rerata skor sebesar 85,92. Sedangkan siswa yang belajar
dengan model pembelajaran kooperatif dan diberikan penilaian tes objektif
sebesar sebesar 77,42.
Pada kelompok model pembelajaran konvensional,
siswa yang diberikan penilaian tes objektif memiliki rerata skor 73,43
sementara pada siswa diberikan penilaian tes uraian memiliki skor rerata 76,26.
Pada penelitian ini kelompok siswa yang belajar
dengan model pembelajaran kooperatif lebih lebih tinggi hasil belajarnya baik
diberikan penilaian tes uraian maupun dengan tes objektif. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa pada kelompok yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif
hasil belajarnya lebih baik. Dengan kondisi ini model pembelajaran kooperatif
yang menuntut adanya aktifitas aktif diantara siswa untuk bekerjasama dalam
kelompok sangat cocok bila didukung dengan bentuk penilaian tes uraian.
Pada penelitian ini juga kelompok siswa yang
dberikan penilaian dengan tes uraian baik pada model pembelajaran kooperatif
maupun konvensional lebih tinggi hasil belajarnya. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa penilaian tes uraian telah memberikan pengaruh terhadap hasil belajar siswa
dalam mata pelajaran IPA. Dengan penilaian tes uraian hasil belajar siswa
cenderung lebih baik dibandingkan dengan tes objektif. Kondisi empiris juga
menunjukan bahwa siswa lebih menyukai menggunakan bentuk peniaian ini.
Tetapi meskipun kedua model pembelajaran dan
bentuk penilaian tersebut telah menunjukan perbedaan hasil belajar IPA siswa.
Tetapi kondisi tersebut tidak memiliki interaksi atau keterkaitan antara model
pembelajaran kooperatif dan penilaian tes uraian dalam meningkatkan hasil
belajar IPA
Kedua perlakukan ini memberikan efek yang sangat
baik bagi keberlangsungan proses pembelajaran. Kondisi tersebut merupakan modal
besar bagi siswa untuk mendapatkan nilai atau hasil belajar yang baik.
Pengunaan model pembelajaran kooperatif menjadi salah satu kunci keberhasilan
siswa mendapatkan skor hasil belajar yang baik. Disamping bentuk penilaian tes
uraian. Sehingga dalam kelompok model pembelajaran kooperatif hasil belajarnya
lebih tinggi dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional begitu pula
pada kelompok siswa yang diberikan penilaian tes uraian lebih tinggi
dibandingkan dengan siswa yang diberikan penilaian dengan tes objektif.
Pada kelompok siswa yang belajar dengan model
pembelajaran konvensional baik diberikan bentuk penilaian yang berbeda hasil
belajarnya tetap rendah bila dibandingkan dengan kelompok yang belajar dengan
model kooperatif. Hal ini dapat membuktikan bahwa memang tidak ada interaksi
antara model pembelajaran dan bentuk penilaian terhadap hasil belajar IPA.
Dalam pembelajaran konvensional, pembelajaran
bersifat satu arah, guru memiliki peran sepenuhnya dalam menjalankan
pembelajaran sedangkan siswa kurang berperan banyak. Pembelajaran berpusat pada
guru, sehingga guru merupakan satu-satunya sumber informasi atau bahan materi
yang disampaikan. Sementara bentuk penilaian yang diharapkan dapat memberikan
pengaruh ternyata pada kenyataannya hasil belajar siswa tidak memberikan
perbedaan yang signifikan dalam bentuk penilaian yang digunakan
Tabel 2
|
Rerata
skor hasil belajar IPA setiap kelompok antara model pembelajaran dengan
bentuk penilaian
|
Model Pembelajaran
|
||
Kooperatif (A1)
|
Ekpository/konvensonal (A2)
|
|
Tes Uraian (B1)
|
85,92
|
76,26
|
Tes Objektif (B2)
|
77,42
|
73,43
|
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil belajar IPA siswa yang
belajar dengan model pembelajaran kooperatif baik diberikan penilaian tes
uraian atau pun tes objektif lebih
tinggi bila dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Juga hasil
belajar siswa yang diberikan penilaian dengan tes uraian baik pada siswa yang
belajar dengan model kooperatif maupun konvensional lebih tinggi
dibandingkan dengan siswa yang diberikan
penilaian tes objektif. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada interaksi antara
model pembelajaran dan bentuk penilaian terhadap hasil belajar IPA. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam grafik berikut ini :
Gambar 1
|
Grafik rerata skor hasil belajar IPA
setiap kelompok
|
F. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan
pembahasan hasil penelitian, maka kesimpulan yang dapat sajikan dalam
penelitian ini adalah 1). Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil
belajar IPA siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan model pembelajaran
kooperatif dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional.
Hasil belajar IPA siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan model konvensional. 2). Terdapat perbedaan yang signifikan
antara hasil belajar IPA siswa yang diberi penilaian tes uraian dengan hasil
belajar IPA siswa yang diberikan penilaian tes objektif. Hasil belajar IPA
siswa yang diberi penilaian tes uraian lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
belajar IPA siswa yang diberikan penilaian tes objektif. 3). Tidak terdapat
pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan bentuk penilaian terhadap hasil belajar IPA.
Sehingga implikasi dari hasil penelitian tersebut
adalah bahwa keterampilan guru dalam melakukan pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif dengan baik sangat membantu jalannya proses
pembelajaran yang efektif sehingga hasil belajar siswa tercapai secara optimal.
Untuk hal ini maka guru perlu mengasah terus kemampuannya dalam melakukan
proses pembelajaran kooperatif dan keterampilan guru dalam melakukan
pembelajaran dengan penilaian tes uraian dengan baik sangat membantu jalannya
proses pembelajaran yang efektif sehingga hasil belajar siswa tercapai secara
optimal. Untuk hal ini maka guru perlu mengasah terus kemampuannya dalam
melakukan penilaian dalam proses pembelajaran.
G. Pustaka Acuan
Arikunto, Suharsimi. “Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan”. Jakarta : Bumi
Aksara, 1995
Arikunto, Suharsimi, ”Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis”.
Jakarta : PT. Bina Aksara, 1989.
Azwar, Saifuddin. ” Tes Prestasi; Fungsi dan Pengembangan Pengukuran
Prestasi Belajar.” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Dahlan, MD. et all. ”Model-model Mengajar” Bandung: CV Diponegoro, 1990
Daali. “Teori Pengukuran”. Jakarta : PPS UNJ. 2004.
Dimyati, Mudjiono. “Belajar dan
Pembelajaran”. Jakarta. Rineka Cipta. 2002.
Djaali. Diktat Perkulihan Desain Eksperimen. Jakarta : tidak diterbitkan
2008.
Djaali dan Pudji Muljono. “Pegukuran dalam Bidang Pendidikan.” Jakarta :
PPs. UNJ, 2004
Fathurrohman, Pupuh dan M. Sobri Sutikno. “Strategi Belajar-Mengajar”.
Bandung: PT Refika Aditama, 2007
Grounlund, Nourman E dan Robert L Lin. Measurement and Evaluation in Teaching.
New York : McMillan Publishing Company, 1985
Hamalik, Oemar . “Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem.”
Jakarta : PT Bumi Aksara, 2004
Herman, Joan L., et.all. A. Practical Guide to Alternative Assessent. USA:
The Regents of The University of California, 1992
Ibrahim, M. et al. “Pembelajaran Kooperatif”. Surabaya:Universitas Negeri
Surabaya Press. 2000.
Isjoni, “Cooperative Learnig: Efektifitas Pembelajaran Kelompok” Bandung:
Penerbit Alphabeta, 2007
Kardi, S. dan Nur, M. “Pengajaran Langsung”. Surabaya: UNESA University
Press. 2000.
Nasution, S . “Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar”. Jakarta:
Bina Aksara. 1999.
Nurgiantoro, Norman. “Penilaian dalam Pengajaran.” Yogyakarta : PT.
BFE-Yogyakarta, 2001
Nur, Muhammad dan Wikandari. “Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan
Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran”. Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya Press, 2000
Nur, Mohammad. ”Pembelajaran Kooperatif.” Surabaya: LPMP Jatim, 2005
Nur, Mohammad. “Guru yang berhasil dan Pengajaran langsung”. Surabaya: PSMS
Unesa, 2005
Nurkancana, Wayan dan Sumartana. “Evaluasi Pendidikan”. Surabaya : Usaha
Nasional, 1886
Permen 22 tahun 2006 Tentang Standar Isi, IPA SD/MI
Popham, W.J. Classroom Assessment: What Teachers Need to Know. Mass:
Allyn-Bacon. 1995.
Rostiyah. “Strategi Belajar Mengajar”. Jakarta: Rineka Cipta. 2001.
Sax, Gibert. Principal of Educational Psychological Measurement and
Evaluation. (San Fransisco: Phoenix Publishing Services, Inc., 1980
Slavin, Robert E. Cooperative Learning. Boston: Allyn and Bacon Inc. 1995.
Stahl, R.J. Cooperative Learning in Social Studies. A Handbook for Teacher.
Sydney: Addison Wesley Publishing Company. Inc. 1994.
Sudjana, Nana. “Penilaian Proses Belajar Mengajar”. Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2006
Sudjana, Nana. “Teori-Teori Belajar Untuk Pengajaran”. Jakarta: FEUI. 1990.
Sunarto,” Pengertian
Metode Ekspositori”. http://sunartombs.wordpress.com/2009/03/09/pengertian-metode-ekspositori/Maret
2009
Surapranata, Sumarna. “Panduan Penulisan Tes Tertulis”, Bandung : Rosda
Karya, 2007
Suryabrata, Sumadi. “Pengembangan Alat Ukur Psikologis”. Yogyakarta: Andi.
2000.
Winkel, W.S. “Psikologi Pengajaran”. Jakarta: PT. Grasindo. 1999.
Zaenul, Asmawi dan Nasoetion. “Penilaian Hasil Belajar”. Jakarta : Ditjen
Dikti Depdikbud, 1996
[1] Lorin
Anderson. “A Taxonomi for learning,
teaching, and Assesing”. (New York: Longman,
2001), h. 25
[2] WS. Winkel.
”Psikologi Pengajaran.” (Jakarta : PT Grasindo, 1999), h. 55
[3] Burhan
Nurgiantoro. “Penilaian dalam Pengajaran.” (Yogyakarta : PT. BFE-Yogyakarta,
2001), h. 20
[5] Oemar Hamalik.
“Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. (Jakarta : PT Bumi
Aksara, 2004), h. 155
[6] M.D. Dahlan, et all.
”Model-model Mengajar” (Bandung: CV Diponegoro, 1990), h. 21
[7] Robert E. Slavin. Cooperative Learning. (Boston: Allyn
and Bacon, 1995), h. 4
[8] Nur, M,. dan Wikandari, P.R. “Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam
Pengajaran”. (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Press, 2000)
[9] Mohammad Nur. ”Pembelajaran Kooperatif.” (Surabaya:
LPMP Jatim, 2005), h.2
[10] Diah Hariati., “Model Penilaian Kelas di SD/MI dan SDLB” (Jakarta: Puskur
Balitbang Depdiknas, 2006), h. 6
[11] Ibid.,
h. 198
[12] Saifuddin Azwar, Op. Cit, h. 72
[13] W. James Popham, Classroom
Assessment: What Teachers Need to Know. (Mass: Allyn-Bacon, 1995), h.235
[14] Saifuddin Azwar, ” Tes Prestasi; Fungsi dan Pengembangan Pengukuran
Prestasi Belajar.” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar