Rabu, 27 Februari 2013

ARTIKEL PENELITIAN ASSESSMEN


PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN BENTUK ASSESMEN TERHADAP HASIL BELAJAR IPA

(Penelitian Eksperimen)


Abstrak. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran dan bentuk asesmen terhadap hasil belajar IPA di Sekolah Dasar. Penelitian dilakukan pada semester genap tahun pelajaran 2008/2009 pada di Kabupaten Lebak. Dengan mengambil sampel 4 kelompok/kelas yang ditentukan dengan teknik purposive random sampling. Penelitian di fokuskan kepada tingkat keberhasilan belajar siswa dalam mata pelajaran IPA yang di jaring melalui  alat tes berupa tes essay dan tes objektif. Analisis data menggunakan analisys of variance (ANOVA) two way dilanjutkan dengan t-test. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Hasil belajar IPA siswa yang
mengikuti proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional, Hasil belajar IPA siswa yang diberi penilaian tes uraian lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar IPA siswa yang diberikan penilaian tes objektif, dan tidak terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan  bentuk penilaian terhadap hasil belajar IPA.

Kata Kunci : Hasil belajar IPA, Sekolah Dasar (SD),  model pembelajaran kooperatif, tes objektif dan tes uraian



A.    Pendahuluan
Dunia pendidikan senantiasa melakukan inovasi secara terus menerus, perubahan-perubahan yang cepat di luar pendidikan menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan. Jika praktek-praktek peyelenggaraan pengajaran dan pendidikan tidak melakukan perbaikan maka kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia akan ketinggalan oleh negara-negara lain.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pemerintah telah berupaya untuk terus meningkatkan mutu pendidikan nasional, karena pemerintah sadar bahwa dengan membenahi sistem pendidikan nasional berarti meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat.  Usaha dapat dilakukan dengan pembangunan infrastruktur, penyediaan dana dan peningkatan kualifikasi tenaga kependidikan, penyempurnaan  kurikulum dan usaha lainnya. Penyempurnaan kurikulum telah dilakukan berkali-kali meliputi setiap tingkat institusional dan seluruh mata pelajaran. Terakhir adalah dengan diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Pada abad 21 ini, praktek-praktek pembelajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah perlu diperbaharui. Peranan dunia pendidikan dalam mempersiapkan anak didik agar optimal dalam kehidupan bermasyarakat, maka proses dan model pembelajaran perlu terus diperbaharui.
Upaya pembaharuan proses tersebut terletak pada tanggung jawab guru, bagaimana pembelajaran yang disampaikan dapat dipahami oleh anak didik secara benar. Dengan demikian proses pembelajaran ditentukan sampai sejauh guru dapat menggunakan model pembelajaran dengan baik.
Upaya peningkatan hasil belajar IPA di sekolah dasar merupakan tahap awal pengenalan siswa tentang keberadaan dirinya di tengah lingkungan alam dan sosial masyarakat di sekitarnya. Berbagai inovasi pembelajaran IPA di sekolah dasar sebagaimana dilaporkan beberapa hasil penelitian memperlihatkan adanya upaya penerapan berbagai pendekatan dalam pembelajaran IPA yang pada intinya adalah untuk mengaktifkan siswa baik secara fisik maupun mental, mengaitkan materi pelajaran dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, melatihkan keterampilan proses dan juga memadukan sains, teknologi dan masyarakat. Untuk mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran IPA kepada siswa perlu dilakukan evaluasi yang mencakup semua aspek bahwa penilaian hasil belajar mencakup pemahaman konsep dan penguasaan keterampilan proses.
Proses pembelajaran IPA di sekolah dasar menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif dan bertujuan agar penguasaan dari aspek kognitif, afektif serta psikomotor terbentuk pada diri siswa. Dengan demikian untuk penilaian diperlukan alat penilaian yang beragam yang dapat mengungkap keterampilan siswa selama proses pembelajaran selain hasil belajar siswa.
Agar siswa bisa belajar lebih aktif, guru harus memunculkan strategi yang tepat dalam memberikan keleluasaan kepada siswa untuk belajar secara aktif. Guru harus memfasilitasi siswa agar siswa mendapat informasi yang yang bermakna, supaya memberikan kesempatan kepada siswa untuk  menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri.
Salah satu model pembelajaran yang dapat mengakomodasi kepentingan untuk mengkolaborasikan pengembangan diri di dalam proses pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Ide penting dalam pembelajaran kooperatif adalah membelajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini sangat penting bagi siswa, karena pada dunia kerja sebagian besar dilakukan secara kelompok.
Pemilihan model pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran IPA akan mengaktifkan siswa serta menyadarkan siswa bahwa IPA itu menyenangkan. Guru hanya sebagai fasilitator untuk membentuk dan mengembangkan pengetahuan itu sendiri, bukan untuk memindahkan pengetahuan. Melalui pembelajaran kooperatif siswa diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan motivasi dalam belajar IPA.
Untuk mengumpulkan informasi atau data tentang kemajuan belajar peserta didik dapat dilakukan beragam teknik, baik berhubungan dengan proses belajar maupun hasil belajar. Teknik mengumpulkan informasi atau data tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian kemajuan belajar peserta didik terhadap pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Teknik assesmen yang digunakan harus disesuaikan dengan karakteristik indikator, standar kompetensi dan kompetensi dasar. Tidak menutup kemungkinan bahwa satu indikator dapat diukur dengan beberapa teknik penilaian. Fenomena di atas menunjukkan bahwa bentuk atau sistem penilaian yang digunakan dalam mengukur hasil belajar siswa sangat penting bentuknya dalam mengukur keberhasilan siswa dalam belajar. Sehingga teknik assesmen yang benar adalah yang selaras dengan tujuan dan proses pembelajaran.   Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan penerapan pembelajaran kooperatif dan teknik assesmen dalam meningkatkan hasil belajar siswa.

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas maka permasalahan penelitiannya adalah sebagai berikut : 1). Apakah hasil belajar IPA siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif  lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional? 2). Apakah hasil belajar IPA antara siswa yang diberi penilaian tes objektif lebih tinggi dibandingkan siswa yang diberikan penilaian tes uraian? 3). Apakah terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan  teknik assesmen terhadap hasil belajar IPA? 4). Apakah terdapat perbedaan hasil belajar IPA pada kelompok-kelompok siswa yang diberikan mdel pembelajaran dan bentuk asessmen?

C.    Kajian Teori
1.      Hasil Belajar IPA
Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang membentuknya, yaitu hasil dan belajar. Pengertian hasil (product) menunjuk kepada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatnya berubahnya input secara fungsional. Hasil produksi adalah perolehan yang didapatkan karena adanya kegiatan mengubah bahan (raw materials) menjadi barang jadi (finished goods). Hal yang sama berlaku untuk memberikan batasan bagi istilah hasil panen, hasil penjualan, hasil pembangunan, termasuk hasil belajar.
Dalam siklus input-proses-hasil, hasil dapat dengan jelas dibedakan dengan input akibat perubahan oleh proses. Begitu pula dalam kegiatan belajar mengajar, setelah mengalami belajar siswa berubah perilakunya dibanding sebelumnya. Belajar juga diartikan sebagai suatu proses perubahan didalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam perilaku dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkahlaku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan lain-lain kemampuannya.[1]
Belajar merupakan proses yang unik dan kompleks. Keunikan itu disebabkan karena hasil belajar hanya terjadi pada individu yang belajar, tidak pada orang lain dan setiap individu menampilkan perilaku belajar yang berbeda. Perbedaan penampilan itu disebabkan karena setiap individu mempunyai karakteristik individualnya yang khas, seperti minat, intelegensi, perhatian, bakat dan sebagainya.
Belajar dilakukan untuk mengusahakan adanya perubahan perilaku pada individu yang belajar. Perubahan perilaku itu merupakan perolehan yang menjadi hasil belajar. Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya.[2]. Aspek perubahan tersebut mengacu kepada taksonomi tujuan pengajaran yang dikembangkan oleh Benjamin S. Bloom yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Sedangkan proses pengajaran merupakan sebuah aktivitas sadar untuk membuat siswa belajar. Proses sadar mengandung implikasi bahwa pengajaran merupakan sebuah proses yang direncanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran (goal teaching). Dalam konteks demikian maka hasil belajar merupakan perolehan dari proses belajar siswa sesuai dengan tujuan pengajaran (ends are being attained).
Tujuan pengajaran dan keluaran hasil belajar adalah dua hal yang erat kaitannya. Tujuan pengajaran menyarankan pada bentuk-bentuk atau kategori tertentu hasil belajar. Keluaran hasil belajar adalah berupa kemampuan, keterampilan dan tingkah laku tertentu yang pada hakikatnya merupakan perwujudan terhadap pencapaian tujuan pembelajaran.[3]
Tujuan pengajaran adalah kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya. Hasil belajar yang diukur merefleksikan tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran adalah tujuan yang menggambarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior) yang dapat diamati dan diukur. Oleh karenanya, menurut Arikunto dalam merumuskan tujuan instruksional harus diusahakan agar nampak bahwa setelah tercapainya tujuan itu terjadi adanya perubahan pada diri anak yang meliputi kemampuan intelektual, sikap dan minat maupun keterampilan.[4]
Perubahan perilaku akibat kegiatan belajar mengakibatkan siswa memiliki penguasaan terhadap materi pengajaran yang disampaikan dalam kegiatan belajar mengajar. Hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat penguasaan yang dicapai oleh pelajar dalam mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan.
Hasil belajar tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang dapat diamati dan dapat diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan sebelumnya[5]
Berdasarkan berbagai definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hasil belajar adalah tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran sebagai akibat dari perubahan perilaku setelah mengikuti proses belajar mengajar berdasarkan tujuan pengajaran yang ingin dicapai. Hasil belajar itu akan diukur dengan sebuah tes. Perubahan kemampuan tersebut antara lain bidang kognitif yang mengacu dimensi pengetahuan (faktual, konseptual dan prosedural) dan dimensi proses kognitif (mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, menilai dan mencipta). Yang dicapai siswa sebagai proses dari pembelajaran IPA yang ditempuh selama kurun waktu tertentu berdasarkan tujuan pembelajaran yang ditetapkan.

2.      Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran.  Dengan model pembelajaran guru menjadi lebih mudah dalam menyampaikan materi pelajaran juga mempermudah bagi siswa dalam memahami materi pelajaran. Menurut Dahlan model mengajar merupakan suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran.[6] Model pembelajaran yang akan dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif dan model pembelajaran konvensional.
Model pembelajaran kooperatif beranjak dari dasar pemikiran "getting better together", yang menekankan pada pemberian kesempatan belajar yang lebih luas dan suasana yang kondusif kepada siswa untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai serta keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat bagi kehidupannya di masyarakat. Melalui model pembelajaran ini siswa bukan hanya belajar dan menerima apa yang disajikan oleh guru dalam proses pembelajaran, melainkan bisa juga belajar dari siswa lainnya dan sekaligus mempunyai kesempatan untuk membelajarkan siswa yang lain.
Kooperatif adalah mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu tim. Adapun pembelajaran kooperatif adalah belajar bersama-sama, saling membantu antara satu dengan yang lain dalam belajar dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang telah ditentukan sebelumnya.
Menurut Slavin bahwa belajar kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya empat sampai enam orang dengan struktur kelompok heterogen.[7]  Pendapat senada juga dikemukakan oleh Nur bahwa pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang sistematis yang mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademis.[8] Pembelajaran kooperatif adalah kegiatan belajar mengajar secara kelompok-kelompok kecil, siswa belajar dan bekerja sama untuk sampai kepada pengalaman belajar yang optimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok.
Pada hakekatnya pembelajaran kooperatif sama dengan kerja kelompok, oleh karena itu banyak guru yang mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang aneh dalam pembelajaran kooperatif karena mereka menganggap telah terbiasa menggunakannya. Walaupun pembelajaran kooperatif terjadi dalam bentuk kelompok, tetapi tidak setiap kerja kelompok dikatakan pembelajaran kooperatif.
Menurut Mohammad Nur pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut: a). Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya. b). Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. c). Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, bangsa, suku, dan jenis kelamin yang berbeda-beda. d). Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok daripada individu [9]
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan strategi yang menempatkan siswa belajar dalam kelompok yang beranggotakan 4-5 siswa dengan tingkat kemampuan atau jenis kelamin atau latar belakang yang berbeda. Pembelajaran harus menekankan kerjasama dalam kelompok untuk mencapai tujuan yang sama. Oleh sebab itu penanaman keterampilan kooperatif sangat perlu dilakukan, antara lain menghargai pendapat orang lain, mendorong berpartisipasi, berani bertanya, mendorong teman untuk bertanya, mengambil giliran dan berbagi tugas.
3.      Teknik Assesmen
Penilaian kelas merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik.[10] Oleh karena itu penilaian hasil belajar merupakan suatu bentuk kegiatan guru yang terkait dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran tertentu. Untuk itu, diperlukan data sebagai informasi yang diandalkan sebagai dasar pengambilan keputusan. Dalam hal ini, keputusan berhubungan dengan sudah atau belum berhasilnya peserta didik dalam mencapai suatu kompetensi. Sehingga penilaian kelas merupakan salah satu pilar dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berbasis kompetensi.
Data yang diperoleh guru selama pembelajaran berlangsung dapat dijaring dan dikumpulkan melalui prosedur dan alat penilaian yang sesuai dengan kompetensi atau hasil belajar yang akan dinilai. Oleh sebab itu, penilaian kelas lebih merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru untuk memberikan keputusan, dalam hal ini nilai terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan tahapan belajarnya. Dari proses ini, diperoleh potret atau profil kemampuan peserta didik dalam mencapai sejumlah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tercantum dalam kurikulum.
Beragam teknik dapat dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan belajar peserta didik, baik yang berhubungan dengan proses belajar maupun hasil belajar. Teknik pengumpulan informasi tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian kemajuan belajar peserta didik berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dicapai.
Penggunaan teknik assesmen yang tepat akan sangat menentukan keberhasilan dalam mengakses informasi yang berkenaan dengan proses pembelajaran. Pemilihan metode penilaian harus didasarkan pada target informasi yang ingin dicapai. Informasi yang dimaksud adalah hasil belajar yang dicapai siswa.
Teknik assesmen yang akan dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah bentuk tes uraian dan bentuk tes objektif. Tes bentuk uraian adalah alat penilaian yang menuntut peserta didik untuk mengingat, memahami, dan mengorganisasikan gagasannya atau hal-hal yang sudah dipelajari. Peserta didik mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis dengan menggunakan kata-katanya sendiri.[11] Alat ini dapat menilai berbagai jenis kompetensi, misalnya mengemukakan pendapat, berpikir logis, dan menyimpulkan.
Tes dirancang untuk mengukur hasil belajar di mana unsur-unsur yang diperlukan untuk menjawab soal dicari, diciptakan dan disusun sendiri oleh pengambil tes. Peserta tes harus menyusun sendiri kata-kata dan kalimat-kalimat dalam merumuskan jawabannya. Butir soal tipe esai mengandung pertanyaan atau tugas yang menghendaki siswa merumuskan sendiri jawabannya.[12]
Bentuk pertanyaan atau suruhan meminta pada peserta didik untuk menjelaskan, membandingkan, menginterpretasikan dan mencari perbedaan. Semua bentuk pertanyaan tersebut mengharapkan agar murid-murid menunjukkan pengertian mereka terhadap materi yang dipelajari. Tes esai digunakan untuk mengatasi kelemahan daya ukur soal objektif yang terbatas pada hasil belajar rendah. Soal tes bentuk ini cocok untuk mengukur hasil belajar yang level kognisinya lebih dari sekedar memanggil informasi, karena hasil belajar yang diukur bersifat kompleks dan sangat mementingkan kemampuan menghasilkan, memadukan dan menyatakan gagasan. Soal uraian (essay) berbeda dengan soal objektif dalam kebenarannya yang bertingkat. Jawaban tidak dinilai mulai dari 100% benar dan 100% salah. Kebenaran bertingkat tergantung tingkat kesesuaian jawaban siswa dengan jawaban yang dikehendaki yang dituangkan dalam kunci jawaban. Jawaban mungkin mengarah kepada jawaban yang tidak tunggal (divergence). Kebenaran yang dicapai bisa 0%, 20%, 30%, 50%, 70%, atau 100% tergantung ketepatan jawabannya.
Sedangkan tes objektif adalah tes yang keseluruhan informasi yang diperlukan untuk menjawab tes telah tersedia. Oleh karena sifatnya yang demikian Popham menyebutnya dengan istilah tes pilihan jawaban (selected response test).[13] Butir soal telah mengandung kemungkinan jawaban yang harus dipilih atau dikerjakan oleh peserta tes. Kemungkinan jawaban telah dipasok oleh pengkonstruksi tes dan peserta hanya memilih jawaban dari kemungkinan jawaban yang telah disediakan. Menurut Azwar soal tipe objektif mempunyai hanya satu jawaban yang dianggap terbaik. Siswa yang diuji diminta untuk menunjukkan jawaban  yang terbaik dengan cara memberikan jawaban (recall) atau dengan cara memilih jawaban (recognize).[14]
Sebagaimana nama yang digunakannya soal objektif adalah soal yang tingkat kebenarannya objektif. Oleh karenanya, tes objektif adalah tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara objektif.  Karena sifatnya yang objektif maka penskorannya dapat dilakukan dengan bantuan mesin. Soal ini tidak memberi peluang untuk memberikan penilaian yang bergradasi karena hanya mengenal benar dan salah. Apabila jawaban siswa sesuai dengan jawaban yang dikehendaki maka jawaban tersebut benar dan diberi skor 1. Apabila kondisi yang terjadi sebaliknya, maka jawaban siswa salah dan diberi skor 0. Jawaban siswa bersifat mengarah kepada satu jawaban yang benar (convergence).
Soal tes objektif sangat bermanfaat untuk mengukur hasil belajar yang menuntut proses mental yang tidak begitu tinggi, seperti mengingat kembali, mengenal kembali, kemampuan pengertian. Hasil-hasil belajar kompleks seperti menciptakan dan mengorganisasikan gagasan kurang cocok diukur menggunakan soal bentuk ini. Soal objektif sangat bervariasi bentuknya. Variasi yang bisa dibuat dari soal objektif adalah benar-salah, pilihan ganda, menjodohkan, melengkapi dan jawaban singkat.


D.    Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Margajaya I dan II. Kedua sekolah tersebut berlokasi di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada semester 2 tahun pelajaran 2008/2009. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan dua perlakukan. Model pembelajaran dan bentuk penilaian ditempatkan sebagai variabel bebas dan hasil belajar sebagai variabel terikat. Variabel model pembelajaran dibedakan menjadi dua yaitu model pembelajaran kooperatif dan konvensional. Variabel bentuk penilaian meliputi penilaian tes objektif dan penilaian tes uraian.
Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan tes IPA yang telah dikembangkan. Pengukuran hasil belajar IPA dilakukan setelah proses perlakuan selesai dilaksanakan. Proses pengukuran tersebut dilakukan pada seluruh siswa dalam kelas yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian menggunakan instrumen berupa tes hasil belajar.
Teknik analisis data yang digunakan dalam menguji hipotesis adalah teknik analisis varian (ANAVA) dua jalur. Untuk memenuhi persyaratan analisis sebelumnya data dilakukan uji normalitas dan homogenitas. Dalam uji hipotesis tersebut bila terdapat perbedaan yang signifikan maka dilanjutkan dengan uji t.

E.     Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil penelitian diperoleh dari Pengujian hipotesis dengan menggunakan Analisis Varian (ANAVA)  dua jalan. Kemudian dilanjutkan dengan analisis varian satu jalan untuk mengetahui signifikansi diantara masing-masing kelompok dan dilanjutkan dengan uji t untuk mengetahui perbedaan diantara kelompok. Berikut ini ringkasan hasil analisis data dengan menggunakan analisis varian dapat dilihat pada tabel berikut:


Tabel 1
Analisis Varian tentang Hasil Belajar IPA
Sumber Varian
JK
db
RJK
Fo
F tabel

0.05
0.01

Antar (A)
932,47
1
932,47
10,989**
 3,96
6,96 

Antar (B)
641,41
1
641,41
7,558**
 3,96
6,96 

Interaksi (AxB)
160,42
1
160,42
1,891
 3,96
6,96 

Dalam
6448,75
76
84,85




Total
8182,95
79

















Hipotesis Pertama :  Hasil belajar IPA siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan model  pembelajaran kooperatif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan model konvensional. Perbedaan skor di atas  ditunjang dengan pengujian analisis varian untuk kedua model pembelajaran. Dari analisis varian yang ringkasannya dapat dilihat dalam tabel 4.12. diperoleh Fhitung antar A sebesar 10,989 sementara harga Ftabel pada taraf signifikansi χ= 0.05 adalah 3.96 dan χ = 0.01 adalah 6.96. Bila dibandingkan terlihat bahwa Fhitung antar A lebih besar dari Ftabel  pada kedua taraf signifikansi. Berdasarkan hasil ini maka hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (H1) diterima. Hal ini membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional.  Perbedaan rerata hasil belajar IPA diantara kedua model pembelajaran tersebut menunjukkan bahwa siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif memiliki rerata sebesar 81,68 lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional sebesar 74,84. 
Hipotesis Kedua : Hasil belajar IPA siswa yang diberikan penilaian tes uraian lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang diberikan penilaian tes objektif.  Perbedaan skor di atas  ditunjang dengan pengujian analisis varian untuk kedua bentuk penilaian. Dari analisis varian yang ringkasannya dapat dilihat dalam tabel 4.12. diperoleh Fhitung antar B  sebesar 7,558, sementara harga Ftabel pada taraf signifikansi χ = 0.05 adalah 3.96 dan χ = 0.01 adalah 6.96. Bila dibandingkan terlihat bahwa Fhitung antar B lebih besar dari Ftabel  pada kedua taraf signifikansi. Berdasarkan hasil ini maka hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (H1) diterima. Hal ini membuktikan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar IPA yang signifikan antara siswa yang diberikan penilaian tes uraian dengan siswa yang diberikan penilaian tes objektif.  Perbedaan rerata hasil belajar IPA diantara kedua bentuk penialaian tersebut menunjukan bahwa siswa yang diberikan penilaian tes uraian memiliki rerata sebesar 81.09 lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang diberikan penilaian tes objektif sebesar 75,42.
Hipotesis Ketiga  : Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan bentuk penilaian terhadap hasil belajar IPA. Interaksi antara model pembelajaran dan bentuk penilaian kelas terlihat bahwa Fhitung interaksi adalah 1,891, sementara Ftabel pada taraf signifikansi χ = 0.05 adalah 3.96 dan χ = 0.01 adalah 6.96. hal ini menunjukan bahwa Fhitung lebih rendah dari pada Ftabel pada kedua taraf signifikansi. Berdasarkan hasil ini maka hipotesis nol (Ho) diterima dan hipotesis alternatif (H1) ditolak. Hal ini menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan bentuk penilaian terhadap hasil belajar siswa. Berdasarkan analisis varian yang dilakukan terlihat bahwa tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan bentuk penilaian terhadap hasil belajar IPA.  Berdasarkan hasil ini maka tidak perlu dilakukan analisis lanjutan untuk melihat simple effect diantara sub-sub faktor yang membangun interaksi tersebut karena hasil pengujian menunjukan tidak ada pengaruh interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dan bentuk penilaian kelas terhadap hasil belajar IPA. Berikut ini adalah pembahasan dari hasil penelitian

1.      Hasil belajar IPA siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif  lebih tinggi dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional.
Bedasarkan pada hasil penelitian pada kelompok siswa dengan perlakuan model pembelajaran yang berbeda menunjukan adanya perbedaan hasil belajar IPA  antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif (A1) dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional (A2). Perbedaan ini juga dapat dilihat dari perbedaan rerata skor hasil belajar  IPA yang diperoleh setiap kelompok tersebut. Rerata kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif (A1) sebesar 81,67 lebih tinggi dibandingkan dengan rerata kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional (A2) sebesar 74,84.
Perbedaan tersebut selain ditunjukkan oleh rerata skor juga diperkuat dengan hasil analisis varian yang memperlihatkan bahwa harga Fo A = (10,989) > Ftabel  0,05/0,01 (3,96/6,69). Hasil ini memperkuat asumsi bahwa pengunaan model pembelajaran kooperatif memberikan pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan hasil belajar IPA.
Hasil tersebut menyatakan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran IPA di sekolah berpengaruh terhadap hasil belajarnya. Dengan model pembelajaran kooperatif hasil belajar IPA siswa lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang diberikan model konvensional.
Kondisi empirik menunjukan bahwa proses pembelajaran pada siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif. Siswa belajar dalam bentuk kelompok kerjasama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap siswa saling memiliki peran yang berbeda dalam belajar, kemudian mereka bekerja dan belajar secara bersama-sama saling melengkapi sehingga tercapainya tujuan pembelajaran secara optimal.
Setiap siswa dituntut untuk selalu terlibat aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran sesuai dengan tugas yang diberikan oleh guru dalam belajar. Belajar dalam kelompok kerjasama dan kekompakan siswa dalam belajar merupakan inti dari keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran model kooperatif.
Disamping itu dalam kegiatan pembelajaran tersebut siswa melakukan perannya sebagai seorang yang sedang belajar untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalamannya terhadap materi yang disampaikan. Sehingga guru berperan sebagai fasilitator bagi siswa dengan memberikan arahan dan bimbingan selama proses pembelajaran berlangsung.
Dalam proses pembelajaran kooperatif aktivitas siswa yang paling dominan adalah berada dalam tugas kelompok selanjutnya adalah berdiskusi antara siswa dengan guru, memperhatikan dan mendengarkan penjelasan teman. Berada pada kerja kelompok secara khusus dapat meningkatkan hubungan interpersonal melalui sikap yang fleksibel dan kemampuan dalam merespon perubahan. Salah satu tujuan utama dari proses interpersonal melalui kerjasama adalah siswa dapat mengorganisasi kelompok melalui pengorganisasian peran serta fungsi individu secara efektif dan manusiawi. Selain berfungsi sebagai proses sosial, juga dapat menjembatani proses pengembangan konsep diri, kepercayaan diri, keterampilan individu, dan dapat memberikan kontribusi yang bermakna, sehingga tercapai kepuasan dan kenyamanan bagi anggotanya.
Selain aktifitas siswa dalam pembelajaran kooperatif nampak terlihat bahwa suasana kelas cukup tinggi. Kondisi di atas merupakan indikasi bahwa baik guru maupun siswa benar-benar antusias dan aktif terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Guru telah melakukan persiapan, persentasi kelas, memotivasi siswa, mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan awal siswa dan menjelaskan materi yang berhubungan dengan tugas yang akan diselesaikan dalam kerja kelompok dengan baik.
Dalam pembelajaran kooperatif aktifitas guru membimbing keterampilan kooperatif secara bergiliran, mendorong teman untuk bertanya kepada teman sekelompok, baru bertanya kepada guru, memberikan bantuan kepada kelompok yang mengalami kesulitan untuk menemukan cara pemecahan masalah, dan memberi umpan balik. Dalam menutup pelajaran guru melakukan bimbingan kepada siswa membuat rangkuman, mengajukan pertanyaan untuk umpan balik
 Beberapa perbedaan yang mendasar antara pembelajaran kooperatif dan pembelajaran konvensioanal adalah bahwa pada pembelajaran kooperatif mempunyai sifat: 1) Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu, dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif. 2) Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan 3). Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang memberikan bantuan 4). Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok 5). Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong-royong seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan 6). Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok. 7). Guru memperhatikan secara proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar. 8) Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal seperti hubungan antar pribadi yang saling menghargai.
Kondisi proses pembelajaran ini sangat berbeda sekali dengan kondisi proses pembelajaran dalam model pembelajaran konvensional, dalam model konvensional. Pelajaran IPA disampaikan dengan metode ceramah yang sesekali diselingi pertanyaan yang diajukan oleh siswa. Proses pembelajaran berpusat kepada guru. Guru merupakan satu-satunya sumber informasi dalam pembelajaran, setiap siswa hanya memberikan tanggapan dan pertanyaan terhadap materi yang disampaikan guru.
Kondisi ini jelas sangat kontras sekali dengan model pembelajaran kooperatif sebagai model perlakukan (treatment) dalam penelitian, dimana siswa belajar dengan begitu antusias dan semangat mengikuti pelajaran. Sehingga wajar sekali perbedaan perlakukan tersebut menyebabkan atau terjadinya hasil belajar IPA kedua kelompok tersebut. Disamping itu hasil belajar dengan model kooperataif tentunya juga akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang belajar dengan model konvensional.
Pada pembelajaran biasa aktivitas siswa lebih dominan adalah memperhatikan penjelasan guru dan mengerjakan tugas. Pada saat guru menerangkan materi pelajaran, hanya sedikit siswa yang bertanya kepada guru, siswa cenderung untuk menerima apa saja yang disampaikan guru. Selain itu pula dalam mengerjakan tugas siswa lebih banyak bertanya langsung kepada guru dibandingkan bertanya kepada teman sebangkunya ataupun kepada teman di dekat bangkunya. Hal ini dikarenakan teman-temannya pun kelihatan sibuk mengerjakan tugas secara sendiri-sendiri. Dengan kata lain kesempatan untuk diskusi antara siswa yang diberikan oleh guru menjadi tidak efektif.
Kondisi pada pembelajaran Konvensional adalah 1) Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok. 2) Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota kelompok lainnya hanya mendompleng keberhasilan. 3). Kelompok belajar biasanya homogen. 4). Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing-masing. 5). Keterampilan sosial sering tidak secara langsung diajarkan. 6) Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung. 7) Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar. 8) Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas

2.      Perbedaan hasil belajar IPA siswa yang diberikan penilaian tes uraian dengan penilaian tes objektif.

Berdasarkan pada hasil penelitian pada kelompok siswa dengan perlakuan bentuk penilaian yang berbeda menunjukan adanya perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang diberikan penilaian tes uraian (B1) dan kelompok siswa yang diberikan penilaian tes  objektif (B2). Perbedaan ini juga dapat dilihat dari perbedaan rerata skor hasil belajar IPA yang diperoleh setiap kelompok tersebut. Rerata kelompok siswa yang diberikan penilaian tes uraian sebesar 81,09 lebih tinggi dibandingkan dengan rerata kelompok siswa yang diberikan penilaian dengan tes objektif  sebesar 75,2
Perbedaan tersebut selain ditunjukan oleh rerata skor juga diperkuat dengan hasil analisis varian yang memperlihatkan bahwa harga Fo B = (7,558) > Ftabel  0,05/0,01 (3,96/6,96). Hasil ini memperkuat asumsi bahwa pengunaan bentuk penilaian tes uraian dalam proses pembelajaran memberikan perbedaan yang signifikan dalam meningkatkan hasil belajar IPA.
Hasil tersebut menyatakan siswa yang diberikan penilaian tes uraian dalam pembelajaran IPA di sekolah berpengaruh terhadap hasil belajarnya. Dengan penerapan penilaian tes uraian dalam pembelajaran IPA maka hasil belajar IPA siswa lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang diberikan penilaian tes objektif.
Pada kelompok siswa yang diberikan perlakuan dengan diberikan penilaian tes uraian dalam proses pembelajaran. Setiap siswa diselalu diberikan latihan berupa tugas-tugas yang diberikan oleh guru, terkait dengan materi yang disampaikan dalam bentuk pendalaman soal, kemudian siswa selalu diberitahu bahwa pada akhir kegiatan akan dilakukan tes hasil belajar dalam bentuk tes uraian. Dengan pola penilaian yang diberikan tersebut maka kemampuan siswa dalam materi tersebut dapat terpantau perkembangannya. Sehingga dengan mudah dapat diketahui kemampuan siswa terhadap materi yang disampaikan lebih dini.
Pada penelitian ini juga kelompok siswa yang diberikan penilaian dengan tes uraian baik pada model pembelajaran kooperatif maupun konvensional lebih lebih tinggi hasil belajarnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa penilaian tes uraian telah memberikan pengaruh terhadap hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPA. Dengan penilaian tes uraian hasil belajar siswa cenderung lebih baik dibandingkan dengan tes objektif. Kondisi empiris juga menunjukan bahwa siswa lebih menyukai menggunakan bentuk penilaian ini.
Selain itu kondisi empiris terlihat bahwa pada saat pelaksanaan ujian dilakukan siswa lebih rileks dan nyaman dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan, karena mereka sudah terbiasa dengan kondisi yang dilakukan saat ini. Sementara itu pada penilaian tes tertulis bentuk uraian penilaian dan proses hasil belajar dilakukan hanya pada penilaian akhir saja. Penilaian yang dilakukan bentuknya seputar tes objektif. Hasil penilaianya pun belum dilakukan seoptimal mungkin untuk perbaikan kegiatan pembelajaran.  Siswa hanya belajar dalam setiap proses pembelajaran dalam upaya menyelesaikan materi yang disampaikan.

3.      Interaksi model pembelajaran dan bentuk penilaian terhadap hasil belajar IPA.
Bedasarkan pada hasil penelitian terlihat perbedaan hasil belajar IPA merupakan pengaruh dari model pembelajaran dan bentuk penilaian kelas. Dalam penelitian ini secara signifikan dapat diperlihatkan interaksi diantara kedua variabel tersebut. Berdasarkan hasil analisis varian bahwa Fo AB = (1,891) < Ftabel  0,05/0,01 (3,96/6,96) hasil ini menunjukan bahwa tidak terdapat interaksi model pembelajaran dan bentuk penilaian terhadap hasil belajar IPA.
Kondisi empirik juga menyatakan bahwa kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif memiliki rerata skor hasil belajar IPA lebih tinggi baik diberikan penilaian tes uraian maupun tes objektif. Sementara untuk kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kovensional memiliki rerata lebih rendah baik diberikan penilaian tes uraian maupun tes objektif.
Deskripsi penelitian ini menunjukan bahwa siswa yang diberikan penilaian tes uraian dan belajar dengan model pembelajaran kooperatif memiliki rerata skor sebesar 85,92. Sedangkan siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif dan diberikan penilaian tes objektif sebesar sebesar 77,42.
Pada kelompok model pembelajaran konvensional, siswa yang diberikan penilaian tes objektif memiliki rerata skor 73,43 sementara pada siswa diberikan penilaian tes uraian memiliki skor rerata 76,26.
Pada penelitian ini kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif lebih lebih tinggi hasil belajarnya baik diberikan penilaian tes uraian maupun dengan tes objektif. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada kelompok yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif hasil belajarnya lebih baik. Dengan kondisi ini model pembelajaran kooperatif yang menuntut adanya aktifitas aktif diantara siswa untuk bekerjasama dalam kelompok sangat cocok bila didukung dengan bentuk penilaian tes uraian. 
Pada penelitian ini juga kelompok siswa yang dberikan penilaian dengan tes uraian baik pada model pembelajaran kooperatif maupun konvensional lebih tinggi hasil belajarnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa penilaian tes uraian telah memberikan pengaruh terhadap hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPA. Dengan penilaian tes uraian hasil belajar siswa cenderung lebih baik dibandingkan dengan tes objektif. Kondisi empiris juga menunjukan bahwa siswa lebih menyukai menggunakan bentuk peniaian ini.
Tetapi meskipun kedua model pembelajaran dan bentuk penilaian tersebut telah menunjukan perbedaan hasil belajar IPA siswa. Tetapi kondisi tersebut tidak memiliki interaksi atau keterkaitan antara model pembelajaran kooperatif dan penilaian tes uraian dalam meningkatkan hasil belajar IPA
Kedua perlakukan ini memberikan efek yang sangat baik bagi keberlangsungan proses pembelajaran. Kondisi tersebut merupakan modal besar bagi siswa untuk mendapatkan nilai atau hasil belajar yang baik. Pengunaan model pembelajaran kooperatif menjadi salah satu kunci keberhasilan siswa mendapatkan skor hasil belajar yang baik. Disamping bentuk penilaian tes uraian. Sehingga dalam kelompok model pembelajaran kooperatif hasil belajarnya lebih tinggi dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional begitu pula pada kelompok siswa yang diberikan penilaian tes uraian lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang diberikan penilaian dengan tes objektif.
Pada kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional baik diberikan bentuk penilaian yang berbeda hasil belajarnya tetap rendah bila dibandingkan dengan kelompok yang belajar dengan model kooperatif. Hal ini dapat membuktikan bahwa memang tidak ada interaksi antara model pembelajaran dan bentuk penilaian terhadap hasil belajar IPA.
Dalam pembelajaran konvensional, pembelajaran bersifat satu arah, guru memiliki peran sepenuhnya dalam menjalankan pembelajaran sedangkan siswa kurang berperan banyak. Pembelajaran berpusat pada guru, sehingga guru merupakan satu-satunya sumber informasi atau bahan materi yang disampaikan. Sementara bentuk penilaian yang diharapkan dapat memberikan pengaruh ternyata pada kenyataannya hasil belajar siswa tidak memberikan perbedaan yang signifikan dalam bentuk penilaian yang digunakan



Tabel  2
Rerata skor hasil belajar IPA setiap kelompok antara model pembelajaran dengan bentuk penilaian


Model Pembelajaran
Kooperatif (A1)
Ekpository/konvensonal (A2)
Tes Uraian (B1)
85,92
76,26
Tes Objektif (B2)
77,42
73,43



Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil belajar IPA siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif baik diberikan penilaian tes uraian atau pun tes objektif  lebih tinggi bila dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Juga hasil belajar siswa yang diberikan penilaian dengan tes uraian baik pada siswa yang belajar dengan model kooperatif maupun konvensional lebih tinggi dibandingkan  dengan siswa yang diberikan penilaian tes objektif. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada interaksi antara model pembelajaran dan bentuk penilaian terhadap hasil belajar IPA. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik berikut ini :


Gambar 1
Grafik rerata skor hasil belajar IPA setiap kelompok




F.     Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan hasil penelitian, maka kesimpulan yang dapat sajikan dalam penelitian ini adalah 1). Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar IPA siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional. Hasil belajar IPA siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional. 2). Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar IPA siswa yang diberi penilaian tes uraian dengan hasil belajar IPA siswa yang diberikan penilaian tes objektif. Hasil belajar IPA siswa yang diberi penilaian tes uraian lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar IPA siswa yang diberikan penilaian tes objektif. 3). Tidak terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan  bentuk penilaian terhadap hasil belajar IPA.
Sehingga implikasi dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa keterampilan guru dalam melakukan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif dengan baik sangat membantu jalannya proses pembelajaran yang efektif sehingga hasil belajar siswa tercapai secara optimal. Untuk hal ini maka guru perlu mengasah terus kemampuannya dalam melakukan proses pembelajaran kooperatif dan keterampilan guru dalam melakukan pembelajaran dengan penilaian tes uraian dengan baik sangat membantu jalannya proses pembelajaran yang efektif sehingga hasil belajar siswa tercapai secara optimal. Untuk hal ini maka guru perlu mengasah terus kemampuannya dalam melakukan penilaian dalam proses pembelajaran.

G.    Pustaka Acuan

Arikunto, Suharsimi. “Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan”. Jakarta : Bumi Aksara, 1995
Arikunto, Suharsimi, ”Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis”. Jakarta : PT. Bina Aksara, 1989.
Azwar, Saifuddin. ” Tes Prestasi; Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar.” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Dahlan, MD. et all. ”Model-model Mengajar” Bandung: CV Diponegoro, 1990
Daali. “Teori Pengukuran”. Jakarta : PPS UNJ. 2004.
Dimyati,  Mudjiono. “Belajar dan Pembelajaran”. Jakarta. Rineka Cipta. 2002.
Djaali. Diktat Perkulihan Desain Eksperimen. Jakarta : tidak diterbitkan 2008.
Djaali dan Pudji Muljono. “Pegukuran dalam Bidang Pendidikan.” Jakarta : PPs. UNJ, 2004
Fathurrohman, Pupuh dan M. Sobri Sutikno. “Strategi Belajar-Mengajar”. Bandung: PT Refika Aditama, 2007
Grounlund, Nourman E dan Robert L Lin. Measurement and Evaluation in Teaching. New York : McMillan Publishing Company, 1985
Hamalik, Oemar . “Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem.” Jakarta : PT Bumi Aksara, 2004
Herman, Joan L., et.all. A. Practical Guide to Alternative Assessent. USA: The Regents of The University of California, 1992
Ibrahim, M. et al. “Pembelajaran Kooperatif”. Surabaya:Universitas Negeri Surabaya Press. 2000.
Isjoni, “Cooperative Learnig: Efektifitas Pembelajaran Kelompok” Bandung: Penerbit Alphabeta, 2007
Kardi, S. dan Nur, M. “Pengajaran Langsung”. Surabaya: UNESA University Press. 2000.
Nasution, S . “Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar”. Jakarta: Bina Aksara. 1999.
Nurgiantoro, Norman. “Penilaian dalam Pengajaran.” Yogyakarta : PT. BFE-Yogyakarta, 2001
Nur, Muhammad dan Wikandari. “Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran”. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Press, 2000
Nur, Mohammad. ”Pembelajaran Kooperatif.” Surabaya: LPMP Jatim, 2005
Nur, Mohammad. “Guru yang berhasil dan Pengajaran langsung”. Surabaya: PSMS Unesa, 2005
Nurkancana, Wayan dan Sumartana. “Evaluasi Pendidikan”. Surabaya : Usaha Nasional, 1886
Permen 22 tahun 2006 Tentang Standar Isi, IPA SD/MI
Popham, W.J. Classroom Assessment: What Teachers Need to Know. Mass: Allyn-Bacon. 1995.
Rostiyah. “Strategi Belajar Mengajar”. Jakarta: Rineka Cipta. 2001.
Sax, Gibert. Principal of Educational Psychological Measurement and Evaluation. (San Fransisco: Phoenix Publishing Services, Inc., 1980
Slavin, Robert E. Cooperative Learning. Boston: Allyn and Bacon Inc. 1995.
Stahl, R.J. Cooperative Learning in Social Studies. A Handbook for Teacher. Sydney: Addison Wesley Publishing Company. Inc. 1994.
Sudjana, Nana. “Penilaian Proses Belajar Mengajar”. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006
Sudjana, Nana. “Teori-Teori Belajar Untuk Pengajaran”. Jakarta: FEUI. 1990.
Surapranata, Sumarna. “Panduan Penulisan Tes Tertulis”, Bandung : Rosda Karya, 2007
Suryabrata, Sumadi. “Pengembangan Alat Ukur Psikologis”. Yogyakarta: Andi. 2000.
Winkel, W.S. “Psikologi Pengajaran”. Jakarta: PT. Grasindo. 1999.
Zaenul, Asmawi dan Nasoetion. “Penilaian Hasil Belajar”. Jakarta : Ditjen Dikti Depdikbud, 1996




[1] Lorin Anderson. “A Taxonomi for learning, teaching, and Assesing”. (New York: Longman, 2001), h. 25
[2] WS. Winkel. ”Psikologi Pengajaran.” (Jakarta : PT Grasindo, 1999), h. 55
[3] Burhan Nurgiantoro. “Penilaian dalam Pengajaran.” (Yogyakarta : PT. BFE-Yogyakarta, 2001), h. 20
[4] Suharsimi Arikunto, ”Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.” (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), h. 131
[5] Oemar Hamalik. “Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2004), h. 155
[6] M.D. Dahlan, et all. ”Model-model Mengajar” (Bandung: CV Diponegoro, 1990), h. 21
[7] Robert E. Slavin. Cooperative Learning. (Boston: Allyn and Bacon, 1995), h. 4
[8] Nur, M,. dan Wikandari, P.R. “Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran”. (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Press, 2000)
[9] Mohammad Nur. ”Pembelajaran Kooperatif.” (Surabaya: LPMP Jatim, 2005), h.2
[10] Diah Hariati., “Model Penilaian Kelas di SD/MI dan SDLB” (Jakarta: Puskur Balitbang Depdiknas, 2006), h. 6
[11] Ibid., h. 198
[12] Saifuddin Azwar, Op. Cit, h. 72
[13]  W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know. (Mass: Allyn-Bacon, 1995), h.235
[14] Saifuddin Azwar, ” Tes Prestasi; Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar.” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 72

Tidak ada komentar: